“PERSATUAN JAKSA INDONESIA (PERSAJA) MENGAPRESIASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENEGASKAN KEJAKSAAN BERWENANG DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”
-Baca Juga
“PERSATUAN JAKSA INDONESIA (PERSAJA) MENGAPRESIASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENEGASKAN KEJAKSAAN BERWENANG DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”
JAKARTA,pojokkirimapro.com.Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) Dr Amir Yanto SH.MM.MH.CGCAE dalam siaran Pers hari ini mengapresiasi sepenuhnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah menjatuhkan Putusan Nomor: 28/PUU-XXI/2023 yang menyatakan menolak permohonan uji materiil undang-undang yang diajukan oleh M. Yasin Djamaludin seorang advokat yang mengajukan permohonan uji materi undang-undang yang intinya mempersoalkan mengenai kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam tiga undang-undang, yaitu: Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 ayat (1), (2), (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’ dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Putusan Mahkamah Konstitusi ini semakin menguatkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yang menegaskan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus dan/atau tindak pidana tertentu, dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi.
Dalam
pertimbangan putusannya yang sebagian mengadopsi dalil-dalil yang diajukan oleh
Persatuan Jaksa Indonesia yang dalam hal ini hadir sebagai pihak terkait
mewakili kepentingan para Jaksa se-Indonesia, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum dengan
pertimbangan antara lain sebagai berikut:
1.
UUD 1945 secara eksplisit tidak
membatasi atau menentukan bahwa kewenangan penyidikan hanya menjadi kewenangan
tunggal Kepolisian. Pembentuk Undang-Undang memilih
untuk memberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi
kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, dikarenakan penanganan perkara tindak
pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki dimensi
persoalan yang krusial, sehingga dalam hal penyidikan tidak dapat dilakukan
oleh satu lembaga penegak hukum saja.
2.
Kewenangan kejaksaan untuk
penyidikan tindak pidana khusus diperlukan untuk kepentingan penegakan hukum.
Ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan hanya merupakan pintu masuk
bagi Pembentuk Undang-Undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu. Sementara
untuk tindak pidana umum, kewenangan penyidikan tetap berada pada Kepolisian.
Mahkamah memandang bahwa kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan masih
tetap diperlukan untuk menangani tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang
secara faktual jenis maupun modusnya semakin beragam. Disamping itu, secara
riil adanya pemberian kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan semakin
mempercepat penyelesaian penanganan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang
dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi pelaku, serta memenuhi rasa
keadilan kepada masyarakat;
3.
Kewenangan Kejaksaan dalam
melakukan penyidikan merupakan praktik yang lazim khususnya
menyangkut tindak pidana khusus dan/atau tindak pidana tertentu yang sifatnya extra
ordinary crime yang secara universal membutuhkan lebih dari satu lembaga
penegak hukum untuk menanganinya, khususnya dalam hal kewenangan penyidikan. Penyidikan
yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam praktik di dunia internasional juga
dilakukan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu, misalnya dalam United
Nations Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (Statuta
Roma), di Korea Selatan melalui Criminal Procedure Act Article 195, Belanda
melalui Code of Criminal Procedure Article 10, Jerman melalui German
Code of Criminal Procedure Section 161.
4.
Kolaborasi lembaga penegak hukum
dalam pemberantasan korupsi. Pasal-pasal yang diajukan
pengujian oleh Pemohon merupakan norma yang mengatur hal yang berhubungan
dengan kewajiban adanya kolaborasi diantara lembaga penegak hukum, yakni
Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi. Pembentuk
Undang-Undang yang memandang tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary
crime yang mempunyai dimensi persoalan yang krusial dan tidak mungkin hanya
ditangani oleh satu lembaga penegak hukum sebagai penyidik. Artinya penyidikan
dalam tindak pidana korupsi selain dilakukan oleh Kepolisian, diperlukan
lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan dan KPK, sepanjang ketiga lembaga
penegak hukum dimaksud saling berkoordinasi agar terdapat kesatuan sikap dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga diharapkan lebih efektif
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dalam rangka tersebut,
telah ada Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor:
KEP-049/A/JA/02/2012; Nomor: B/23/III/2012; Nomor: Spj-39/01/03/2012 tentang
Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui terakhir
dengan Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor: 107
Tahun 2021; Nomor: 6 Tahun 2021; Nomor: NK/17/V/2021 tentang Kerja Sama dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Dimana salah satu bentuk kerja samanya
antara lain terkait sinergi penanganan perkara tindak pidana korupsi termasuk
dalam kegiatan hal pelaporan dan/atau pengaduan masyarakat, dan koordinasi
dan/atau supervisi. Adanya nota kesepakatan/kesepahaman tersebut, tentunya
menjadikan penanganan tindak pidana korupsi lebih efektif dan efisien, selain
itu adanya aspek kesepakatan dalam koordinasi dan juga supervisi menjadikan
aspek pengawasan tidak hilang dalam hal penanganan perkara tindak pidana
korupsi antara Kepolisian. Kejaksaan dan KPK.
5.
Kewenangan Kejaksaan dalam
melakukan penyidikan tersebut tidak berpotensi mengganggu prinsip checks and
balances. Mahkamah memandang bahwa dalil Pemohon yang
menyatakan tidak berjalannya checks and balances sebagai dalil yang tidak
relevan untuk dipertimbangkan. Begitu juga mengenai tidak berfungsinya prinsip
diferensiasi fungsional sehingga berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan,
sebagai bentuk kekhawatiran yang berlebihan dan tidak beralasan. Seandainya
berdampak pada terlanggarnya hak-hak tersangka/terdakwa, sebagaimana yang
didalilkan telah dialami oleh Pemohon, maka telah tersedia mekanisme kontrol
yang dapat digunakan yaitu melalui permohonan praperadilan.
Dengan berdasarkan seluruh
pertimbangan hukum, maka Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan
Pemohon untuk seluruhnya. Putusan tersebut diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 16 Januari 2024
oleh Sembilan Hakim Konstitusi yaitu Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota,
Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, Anwar Usman, Arief Hidayat,
Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Ridwan Mansyur masing-masing sebagai
anggota, bertempat di ruang sidang Pleno, Gedung 1, Mahkamah Konstitusi.
Persatuan Jaksa Indonesia mengajak kepada seluruh anggota PERSAJA untuk
mendukung sepenuhnya kebijakan Jaksa Agung RI dalam menjaga marwah Institusi
,meningkatkan kepercayaan publik dan senantiasa menjadi Lembaga penegak hukum
yang paling dipercaya publik khususnya dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi , Penindakan massif yang berhubungan dengan kepentingan publik,
menyentuh kebutuhan pokok masyarakat dan mengutamakan perkara-perkara “ Big
Fish” sehingga Masyarakat semakin memahami bahwa korupsi itu tidak hanya
merampas ekonomi masyarakat tetapi juga melemahkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat .(*).